Oleh: Hasan Basri Hambali
MAKNA SIFAT ILMU
Salah satu sifat wajib bagi Alloh Swt. adalah sifat ilmu, yaitu Alloh Maha Mengetahui, mustahil jahl artinya Alloh tidak mengetahui. Setiap muslim wajib meyakini sifat tersebut dan menjadikannya sebagai salah satu dasar dalam kehidupan dalam rangka meraih keridhoan Alloh Swt.
Alloh Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang wajib, mustahil maupun ja’iz. Pengetahuannya bersifat menyeluruh (ihathoh) tanpa didahului oleh ketidaktahuan.(1)
Alloh Maha Mengetahui segala sesuatu yang telah terjadi di masa lampau, sedang terjadi, maupun akan terjadi di masa yang akan datang. Pengetahuan Alloh terhadap suatu peristiwa yang akan terjadi tidak bertambah jelas dengan terjadinya peristiwa itu pada waktunya, karena ilmu-Nya bersifat ihathoh dan tidak diliputi oleh dimensi waktu.(2)
Berbeda dengan Alloh Swt., selain peristiwa yang dipastikan oleh Alloh Swt. akan terjadi (seperti kiamat, surga dan neraka), manusia tidak mengetahui peristiwa yang akan terjadi kecuali hanya sekedar perkiraan yang didasarkan pada indikasi-indikasi, seperti mendung tanda akan turunnya hujan, atau sesuatu yang merupakan kebiasaan (‘adah) yang diberlakukan oleh Alloh Swt. di alam semesta ini (hukum alam atau sunnatulloh) seperti terbitnya matahari esok hari dan terbakarnya kulit apabila terkena api. Perkiraan manusia dan kebiasaan-kebiasaan tersebut menjadi jelas apabila Alloh mewujudkan peristiwa-peristiwa tersebut sesuai dengan kehendak-Nya.(3)
Alloh Maha Mengetahui segala sesuatu baik secara global maupun terperinci, baik kulliyat maupun juz’iyyat, tiada suatu apapun yang terhalang dari pengetahuan Alloh Swt.(4)
DALIL SIFAT ILMU
Dalil Naqli sifat ilmu diantaranya adalah firman Alloh Swt.
..... وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (الحديد : ٣)
“..... dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Hadid : 3)
Sedangkan dalil ‘aqli bahwa Alloh Swt. memiliki sifat ilmu adalah keberadaan (eksistensi) makhluk. Jika Alloh Swt. tidak mengetahui tentu Ia tidak memiliki kehendak (irodah) dan kekuasaan (qudroh), dengan demikian, eksistensi makhluk yang menunjukan kehendak dan kekuasaan Alloh meniscayakan adanya pengetahuan (ilmu) Alloh Swt. Bukankah adanya perbuatan manusia menunjukan adanya kemampuan, keinginan dan pengetahuannya? (5) Perumpamaan ini hanya untuk mempermudah pemahaman (ta’aqqul), bukan untuk menyerupakan, karena hakikat ilmu Alloh berbeda dengan ilmu manusia, demikian pula sifat-sifat yang lainnya, wa lillah al-mastalul a’la.
HIKMAH BERIMAN KEPADA SIFAT ILMU
Keyakinan bahwa Alloh Swt. memiliki pengetahuan terhadap segala sesuatu tentunya akan melahirkan sikap dan prilaku terpuji pada diri manusia. Orang yang meyakini bahwa Alloh Maha Mengetahui akan menata diri dan senantiasa melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, karena ia meyakini bahwa segala perbuatannya, termasuk isi hatinya, tidak luput dari pengetahuan Alloh Swt. Oleh karena itu, perbuatan tercela hanya muncul dari orang yang tidak meyakini adanya ilmulloh, atau sekurang-kurangnya lupa akan kemahatahuan Alloh Swt.
Keyakinan terhadap sifat ilmu seyogyanya menimbulkan kesadaran tentang keterbatasan ilmu manusia dan pengetahuan yang dimiliki manusia semata-mata karunia dari Alloh Swt.
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (النحل : ٧٨)
"dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur." (QS. an-Nahl : 78)
Pada ayat ini Alloh Swt. menjelaskan bahwa manusia ketika dilahirkan tidak memiliki pengetahuan apapun, kemudian Alloh melengkapi manusia dengan pendengaran, penglihatan dan hati agar dapat memperoleh ilmu dan pengetahuan.(6)
Dengan demikian, keyakinan terhadap kesempuraan ilmu Alloh, dan kesadaran akan keterbatasan ilmu manusia, selayaknya menjadi pendorong untuk senantiasa menuntut ilmu tanpa dibatasi dengan jenjang usia. Kewajiban menuntut ilmu biasanya hanya disandarkan kepada anak-anak usia sekolah. Kita sering bertanya kepada mereka, kenapa tidak sekolah? kenapa tidak mengaji? Padahal kewajiban tersebut berlaku bagi setiap muslim sesuai dengan tingkat usia dan daya nalarnya. Di samping itu, kebanyakan muslim merasa berdosa jika tidak melaksanakan sholat atau tidak mengeluarkan zakat, tapi sedikit sekali pribadi muslim yang merasa berdosa apabila ia tidak menuntut ilmu.
Nabi Muhammad Saw. bersabda:
طلب العلم فريضة على كل مسلم فاغد أيها العبد عالمًا أو متعلمًا ولا خير فيما بين ذلك (الديلمى عن على)
أخرجه الديلمى (2/437 ، رقم 3908) .
Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Wahai hamba Alloh, hendaklah kamu menjadi orang yang mengajarkan ilmu kepada orang atau menimba ilmu dari orang lain, dan tidak ada kebaikan di antara keduanya. (HR. ad-Dailamiy dari Sayyidina Ali ra.)(7)
REFERENSI:
(1) Ibrohim al-Bayjuriy, Tuhfatul Murid ‘ala Jawharotut Tawhid, (Surabaya: al-Haromain, t.t.), h. 43
(3) Ibid
(4) Ibid
(5) ‘Ali bin Muhammad ash-Shofaqosiy, Taqribul Ba’id ila Jawharotit Tawhid, (Maktabah Syamilah), h. 50
(6) Fakhruddin ar-Roziy, at-Tafsir al-Kabir wa Mafatihul Ghayb, (Maktabah Syamilah), J. 9, h. 441
(7) Jalaluddin as-Suyuthiy, al-jami’ al-Kabir, (Maktabah Syamilah), h. 14080
(4) Ibid
(5) ‘Ali bin Muhammad ash-Shofaqosiy, Taqribul Ba’id ila Jawharotit Tawhid, (Maktabah Syamilah), h. 50
(6) Fakhruddin ar-Roziy, at-Tafsir al-Kabir wa Mafatihul Ghayb, (Maktabah Syamilah), J. 9, h. 441
(7) Jalaluddin as-Suyuthiy, al-jami’ al-Kabir, (Maktabah Syamilah), h. 14080