Lembaga Fatwa Mesir |
Pertanyaan
Memperhatikan permohonan fatwa
nomor 194 tahun 2005 yang berisi:
Apa hukum donor darah dan apa
pahala yang didapat oleh pendonor?
Jawaban (Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah
Muhammad)
Allah SWT
memuliakan manusia dan mengutamakannya melebihi banyak makhluk-Nya yang lain.
Allah juga melarang seseorang menghinakan dirinya dan melanggar kehormatannya
sendiri. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama syariat Islam (al-maqâshid
asy-syar'iyyah) adalah menjaga keselamatan jiwa.
Allah berfirman,
"Dan sesungguhnya telah
Kami muliakan anak-anak Adam." (Al-Isrâ` [17]: 70).
Salah satu bentuk pemuliaan Allah tersebut adalah penciptaan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya sebagai sebuah nikmat yang harus disyukuri. Allah berfirman,
"Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (At-Tîn [95]:
4).
Termasuk bentuk
pemuliaan Allah terhadap manusia adalah menjadikan jasadnya sebagai amanah yang
dipercayakan kepadanya. Sehingga, setiap orang tidak boleh melakukan tindakan
yang menyakiti atau merusak jasadnya, meskipun tindakan tersebut dilakukan
pemilik jasad itu sendiri.
Oleh karena
itulah, agama-agama samawi dan undang-undang positif melarang setiap merusak
tubuhnya dan menghilangkan ruhnya dengan cara bunuh diri atau perbuatan
lainnya. Allah berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu." (An-Nisâ` [4]: 29).
Pemuliaan
lain yang diberikan Allah terhadap manusia adalah perintah-Nya agar manusia
senantiasa menjaga dan merawat tubuhnya, baik yang tampak maupun yang tidak
tampak. Allah juga memerintahkan manusia agar memanfaatkan semua sarana pengobatan
yang dapat menyembuhkan penyakitnya.
Imam Bukhari dan
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab ash-Shahîhain dari Abu Hurairah r.a. bahwa
Rasulullah saw. bersabda,
مَا
أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
"Allah SWT tidaklah
menurunkan penyakit kecuali menurunkan obat untuknya."
Rasulullah saw.
juga pernah ditanya, "Apakah kami perlu berobat wahai Rasulullah?"
Beliau menjawab,
نَعَم،
تَدَاوَوْا عِبَادَ اللَّهِ؛ فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ لَمْ يَضَعْ دَاءً
إِلاَّ وَضَعَ مَعَهُ شِفَاءً إِلاَّ الْهَرَمَ
"Berobatlah wahai
hamba Allah, sesungguhnya Allah SWT tidak menciptakan penyakit kecuali
menciptakan obat untuknya, kecuali usia jompo."
Dalam riwayat lain,
إِلاَّ
السَّامَ
"Kecuali kematian."
Dengan demikian,
syariat Islam sangat memuliakan manusia dan memerintahkannya untuk menjaga jiwa
dan raganya dari semua hal yang dapat merusaknya, menyakitinya atau
membunuhnya. Karena, meskipun manusia merupakan pemilik kewenangan untuk melakukan
apa saja terhadap tubuhnya, tapi ia tidak boleh melampaui batas-batas yang
telah ditetapkan oleh Allah dalam firman-Nya,
"Dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik."
(Al-Baqarah [2]: 195).
Dan firman-Nya,
"Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu."
(An-Nisâ` [4]: 29).
Seorang manusia
dituntut untuk menjaga seluruh tubuhnya, termasuk darah yang mengalir di
dalamnya. Dalam karakteristiknya, darah merupakan organ cair yang bergerak dan
mengalir di dalam pembuluh darah.
Jika donor darah
dapat menyelamatkan orang lain dari kematian, dan para dokter ahli yang dapat
dipercaya mengatakan hal itu tidak menyebabkan efek negatif pada pendonor, baik
pada tubuh, kehidupan maupun pekerjaannya, maka hal itu dibolehkan. Kebolehan
ini terhitung sebagai izin dari syarak untuk menyelamatkan jiwa manusia yang
harus dijaga, sebagaimana diperintahkan oleh Allah. Donor ini bahkan dapat
dikategorikan sebagai pengorbanan dan sikap mendahulukan kepentingan orang lain
(itsâr) yang dianjurkan Allah dalam Alquran,
"Dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan
(apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Al-Hasyr [59]:
9).
Masalah ini juga
dapat diqiyaskan dengan kebolehan menyelamatkan orang yang tenggelam, terkurung
api dan tertimbun reruntuhan meskipun terdapat resiko kematian bagi orang yang
menyelamatkannya. Allah berfirman,
"Dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa." (Al-Mâidah [5]: 2).
Dengan demikian,
donor darah dibolehkan secara syarak, apalagi darah merupakan cairan di dalam
tubuh yang terus diproduksi. Namun kebolehan ini berdasarkan syarat-syarat
berikut ini:
1. Terdapat kondisi darurat,
seperti ada seseorang atau sekelompok orang yang sangat membutuhkan darah guna
menyelamatkan jiwa mereka dari kematian atau dari kondisi yang dapat
mengakibatkan kematian, seperti dalam peristiwa kecelakaan, bencana alam dan
proses operasi.
2. Donor darah tersebut benar-benar
dapat merealisasikan kemaslahatan yang nyata pada manusia atau mencegah
kemudaratan darinya dilihat dari perspektif kedokteran.
3. Donor darah tersebut tidak
menimbulkan mudarat sama sekali bagi pendonor, baik secara menyeluruh atau
sebagian saja. Donor darah itu juga tidak menghalanginya melaksanakan
aktifitasnya sehari-hari, baik secara fisik maupun psikis. Juga dipastikan
tidak adanya pengaruh negatif pada dirinya, baik saat pendonoran atau di masa
mendatang.
4. Darah pendonor harus dipastikan
telah steril dari penyakit yang dapat mengganggu tubuh manusia. Dalam pandangan
syarak, tidak boleh mencegah suatu kemudaratan namun dengan menimbulkan
kemudaratan yang lain.
5. Pendonor harus seseorang yang
memenuhi semua syarat pengambilan keputusan dan kebijakan berkaitan dengan
dirinya maupun hartanya.
Adapun berkaitan
dengan pahala yang akan diterima, jika seseorang yang mampu dan sehat
mendonorkan sebagian darahnya untuk orang yang sangat membutuhkan, maka Allah
akan memberinya pahala dan balasan atas jasanya tersebut dengan
menyelamatkannya dari kebinasaan, mengangkat derajatnya atau menghapus
dosa-dosanya. Allah berfiman,
"Tidak ada balasan kebaikan
kecuali kebaikan (pula)." (Ar-Rahmân [55]: 60).
Rasulullah saw.
bersabda,
الْمُسْلِمُ
أَخُو الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ
أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً
فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ
سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Seorang muslim adalah
saudara bagi muslim yang lain. Dia tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh
pula menjerumuskannya kepada kesulitan. Barang siapa yang membantu keperluan
saudaranya, maka Allah akan membantu keperluannya. Barang siapa yang meringankan
kesulitan seorang muslim, maka Allah akan meringankan kesulitannya pada hari
kiamat. Dan barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan
menutupi aibnya pada hari kiamat." (HR. Bukhari)
Rasulullah saw. juga bersabda,
مَنْ
نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ
كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ
اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ عَلَى مُسْلِمٍ
سَتَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَاللَّهُ فِي عَوْنِ
الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
"Barang siapa yang
melapangkan kesulitan seorang muslim, maka Allah akan melapangkan kesulitannya
pada hari Kiamat. Barang siapa yang memudahkan seorang yang mempunyai kesusahan
maka Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat. Dan barang siapa yang
menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan
akhirat. Allah akan membantu seorang hamba selama hamba itu membantu saudaranya."
(HR. Abu Dawud).
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
ــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ
Sumber: http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=393&LangID=5