Oleh: Hasan Basri Hambali
Imam
Muslim Rohimahullôh meriwayatkan hadits dari Abû Ayyub al-Anshôriy Rhodhiyallôhu
‘anhu, bahwa Rosululloh Shollallôhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ
كَصِيَامِ الدَّهْرِ»
“Barangsiapa berpuasa Romadhon, kemudian
mengikutinya dengan enam hari pada bulan Syawal, maka itu seperti puasa selama
satu tahun.” (HR. Muslim)
Para ulama berbeda pendapat
mengenai hukum mengamalkan puasa enam hari pada bulan Syawwal. Mayoritas ulama,
seperti Ibnu ‘Abbas, Thôwus, asy-Sya’biy, Maymûn bin Mahrôn, Ibnu al-Mubârok, asy-Syafi’iy, Ahmad, dan Ishâq Rohmatullôh
‘alayhim ajma’în berpendapat bahwa puasa tersebut hukumnya sunnah. Sedangkan
sebagian ulama yang lain seperti Mâlik dan Abû Hanîfah Rohimahumallôh mengingkari
puasa tersebut dan menyatakannya sebagai puasa makruh.
Berdasarkan
pendapat mayoritas ulama tersebut, selayaknya kita memanfaatkan kesempatan baik
di bulan Syawwal ini dengan melaksanakan puasa sunnah sebagai bentuk ketaatan
kita kepada Alloh Subhânahu wa ta’âlâ. Cara yang paling baik adalah
memulainya pada tanggal dua bulan Syawwal dan dilaksanakan secara terus menerus
sampai hari ketujuh pada bulan tersebut. Namun demikian, melaksanakannya pada
hari-hari yang lain pada bulan Syawwal walaupun secara terpisah-pisah
merupakan suatu kebaikan dan tetap memperoleh pokok pahala sunnah.
Ibnu
Rojab al-Hambaliy Rohimahullôh menguraikan faidah yang besar di balik
kesunnahan puasa Syawwal, yaitu:
1.
Menyempurnakan pahala puasa Romadhon, sehingga akan memperoleh pahala puasa
selama satu tahun. Alloh Subhânahu wa ta’âlâ berfirman:
{مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا} [الأنعام:
160]
Barangsiapa
membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya. (QS. Al-An’âm [6] : 160)
Dengan
melaksanakan puasa Romadhon selama sebulan penuh, maka seorang hamba memperoleh
pahala puasa selama sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari pada bulan Syawwal
mendapatkan pahala puasa selama dua bulan, sehingga jumlahnya genap menjadi satu
tahun penuh.
2.
Puasa Syawwal, sebagaimana puasa Sya’ban, berkedudukan seperti sholat sunnah
rowâtib (qobliyyah dan ba’diyyah) terhadap sholat fardhu. Kekurangan yang
terdapat dalam sholat fardhu disempurnakan dengan pelaksanaan sholat sunnah,
demikian pula dalam puasa Romadhon, kekurangan yang terjadi selama pelaksanaan
puasa fardhu tersebut disempurnakan dengan puasa sunnah sya’ban dan syawwal.
3.
Melaksanakan puasa sunnah setelah puasa Romadhon adalah salah satu tanda
diterimanya puasa Romadhon. Sesungguhnya apabila Alloh Subhânahu wa ta’âlâ menerima
amal kebaikan seorang hamba, maka Ia akan memberikan tawfîq kepada hamba
tersebut untuk melaksanakan kebaikan-kebaikan yang lain. Sebagian ulama
mengatakan, “Pahala kebaikan adalah kebaikan setelahnya, barang siapa berbuat
kebaikan kemudian mengikutinya dengan kebaikan yang lain, maka itu menjadi
pertanda bahwa kebaikannya yang pertama diterima oleh Alloh Subhânahu wa ta’âlâ.
Sebaliknya, perbuatan baik yang diikuti oleh perbuatan buruk, menjadi tanda
bahwa kebaikan itu ditolak dan tidak diterima oleh-Nya Subhânahu wa ta’âlâ.
Ditinjau
dari segi bahasa, Romadhon mengandung makna panas, sedangkan Syawwal berarti
peningkatan. Pada saat berpuasa seorang muslim merasakan rasa panas dan lapar
sebagai salah satu upaya yang paling efektif dalam melatih dan mengendalikan
hawa nafsu. Makanan dan minuman yang halal pun tidak kita konsumsi karena ketaatan
kepada Alloh Subhânahu wa ta’âlâ, maka saat memasuki Syawwal sebagai
bulan peningkatan, selayaknya kita mampu menahan diri dari mengonsumsi makanan
dan minuman yang haram. Demikian pula ibadah-ibadah yang lain pada bulan
suci tersebut, tadarus al-Qur’an melahirkan kecintaan dan dan ketaatan kepada Kitab Suci, sholat tarowih melatih pribadi muslim untuk memelihara sholat
fardhu dan menyempurnakannya dengan sholat sunnah, dan zakat fitrah melahirkan
rasa kasih sayang kepada kaum lemah. Itulah sebagian makna, bahwa Romadhon
adalah bulan latihan, sedangkan Syawwal adalah bulan peningkatan.
4.
Puasa Syawwal mengandung nilai syukur atas nikmat dan karunia Alloh Subhânahu
wa ta’âlâ. Orang yang berpuasa Romadhon akan mendapat ampunan dari Alloh Subhânahu
wa ta’âlâ, pahala setiap kebaikan yang dilaksanakan pada bulan suci
tersebut akan diterima pada hari ‘idul fithri, sehingga hari fithri tersebut
disebut yawm al-jawâ`iz, yaitu hari pemberian penghargaan dan balasan atas
setiap kebaikan. Ampunan dan penghargaan atas kebaikan merupakan nikmat yang
besar yang harus disyukuri oleh setiap hamba, diantaranya dengan melaksanakan
puasa syawwal. Nabi Muhammad Shollallôhu ‘alayhi wa sallam selalu
melaksanakan ibadah malam (qiyâm al-layl) hingga bengkak telapak kakinya,
ketika Beliau ditanya, “Mengapa Engkau melakukan hal itu, bukankah Alloh
telah mengempuni dosa-Mu, baik dosa terdahulu maupun dosa yang akan datang?” Beliau Shollallôhu ‘alayhi wa sallam menjawab, “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur.”
Puasa
Romadhon adalah bentuk syukur atas nikmat dan anugerah dari Alloh Subhânahu
wa ta’âlâ, ibadah tersebut membawa seseorang untuk mendapatkan ampunan dari
Alloh Subhânahu wa ta’âlâ, yang merupakan nikmat yang harus disyukuri
dengan cara melaksanakan kebaikan yang lainnya. Dan kemampuan melaksanakan kebaikan
yang lain tersebut merupakan pertolongan (tawfîq) dari Alloh yang harus
disyukuri. Maka setiap kenikmatan dunia maupun agama, mengharuskan seorang
hamba bersyukur kepada Alloh Subhânahu wa ta’âlâ, kesyukuran tersebut
merupakan nikmat pertolongan dari Alloh Subhânahu wa ta’âlâ yang harus
disyukuri lagi dengan kebaikan-kebaikan berikutnya. Dengan demikian, maka hakikat
syukur adalah pengakuan atas lemahnya diri dalam bersyukur kepada Alloh Subhânahu
wa ta’âlâ.
Wallôhu
a’lamu bish showâb
ــــــــــــــــــــــــــــــــ
Referensi:
1.
Shohîh Muslim
2.
Syarh an-Nawawiy ‘alâ Muslim
3. Lathô`if al-Ma’ârif
4.
al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh