1. الحَمْدُ
لِلَّهِ عَلَى صِلاَتِهِ ... ثُمَّ سَلاَمُ اللَّهِ مَعْ صَلاَتِهِ
2. عَلَى
نَبِيِّ جَاءَ بِالتوْحِيدِ ... وَقَدْ عَرَا الدِّينُ مِنَ التَّوْحِيدِ
3. فَأَرْشَدَ
الخَلْقَ لِدِينِ الحَقِّ ... بِسَيْفِهِ وَهَدْيِهِ لِلْحَقِّ
4. مُحَمَّدِ
العَاقِبْ لِرُسْلِ رَبِّهِ ... وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَحِزْبِهِ
Segala
puji bagi Alloh atas segala nikmat-nikmat-Nya.
Sholawat
dan salam dari Alloh semoga senantiasa tercurah kepada Nabi, yang datang
membawa tauhid pada saat agama kosong dari tauhid.
Lalu
ia memberi petunjuk kepada makhluk terhadap agama yang benar, dengan pedang dan
petunjuk pada kebenaran.
Yaitu
Nabi Muhammad Shollallôhu 'alaiyhi wa sallam, penutup seluruh utusan (rosul)
Tuhan.
(semoga
shalawat dan salam tercurah) kepada keluarga, sahabat dan golongannya.
Hamdalah
Puji
(الحمد) adalah sanjungan yang wajib karena keagungan dzat Alloh dan
sifat-sifat-Nya. Mu'allif
Rohimahullôh mengawali nazhm-nya dengan hamdalah setelah basmalah, karena
menggabungkan keduanya lebih utama daripada hanya salah satunya. Apabila tidak
menyebut keduanya, maka mengawali dengan basmalah lebih utama daripada
hamdalah, sebagaimana kita jumpai dalam kitab Jurumiyah yang hanya diawali
dengan lafazh basmalah.
Pujian
terbagi empat:
1.
Pujian dari al-Qodîm, yaitu Alloh Subhânahu wa ta'âlâ kepada diri-Nya, seperti
firman Alloh Subhânahu wa ta'âlâ:
فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ
الْقَادِرُونَ (المرسلات : ٢٣)
lalu
Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan.
(QS. Al-Mursalât [77] : 23)
2.
Pujian dari al-Qodîm kepada al-hadîts (hamba-Nya), seperti firman Alloh Subhânahu wa ta'âlâ:
وَوَهَبْنَا لِدَاوُدَ
سُلَيْمَانَ نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ (ص : ٣٠)
Dan
Kami karuniakan kepada Dâwud, Sulaymân, Dia adalah sebaik- baik hamba.
Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya). (QS. Shôd
[38] : 30)
3.
Pujian dari al-hadîts kepada al-hadîts, seperti sabda Baginda Nabi Muhammad
Shollallôhu 'alayhi wa sallam:
نعم العبد الصحيب، لو لم
يخف الله لم يعصه
4.
Pujian dari al-hadîts kepada al-Qodîm Subhânahu wa ta'âlâ, seperti ucapan kita:
يا نعم المولى ويا نعم
النصير
"wahai
Alloh sebaik-baiknya Tuan, wahai sebaik-bainya penolong"
Sholawat
dan Salam
Pendapat
yang shohîh menyebutkan bahwa Baginda Nabi Muhammad Shollallôhu 'alayhi wa
sallam, sebagaimana nabi-nabi yang lain, mendapat manfaat dari sholawat yang
disanjungkan oleh umatnya, tetapi tidak boleh mengungkapkan hal itu kecuali di
tempat-tempat pengajian, karena hal itu termasuk sû` al-adâb (perangai yang
buruk).
Pendapat lain mengatakan bahwa manfaat dari sholawat itu kembali
kepada orang yang bersholawat, karena Baginda Nabi telah dipenuhi dengan
kesempurnaan. Namun pendapat ini tidak sepenuhnya benar, sebab tidak ada suatu
kesempurnaan melainkan pada sisi Alloh Ta'âlâ ada yang lebih sempurna. Tetapi
tidak selayaknya seseorang bersholawat dengan maksud seperti itu, tetapi
sholawat yang disanjungkan dijadikan sebagai wasîlah (penghubung) antara
dirinya dengan Alloh melalui keagungan Baginda Nabi Shollallôhu 'alayhi wa
sallam dalam meraih tujuannya.
Nabi
dan Rosul
Rosul
adalah manusia pilihan yang diberi wahyu oleh Alloh Subhânahu wa ta'âlâ dan
diperintahkan untuk menyampaikan (tablîgh) kepada ummatnya. Sedangkan nabi
tidak diperintahkan untuk menyampaikan wahyu tersebut, namun seorang nabi pun
tetap harus menyampaikan pangkat kenabiannya kepada ummat, supaya mendapat
penghormatan atas derajat luhur yang telah dianugerahkan kepadanya.
Terdapat
nisbah (korelasi) 'umûm khushûsh muthlaq antara nabi dan rosul, yaitu setiap
rosul adalah nabi, dan ada nabi yang bukan berstatus sebagai rosul. Baginda
Muhammad Shollallôhu 'alayhi wa sallam, misalnya, dari segi kerosulan beliau
mempunyai wahyu untuk disampaikan kepada ummat, Beliau juga mempunyai wahyu
yang khusus bagi dirinya dari sisi kenabian, karena Baginda Muhammad adalah
nabi dan rosul. Sedangkan seorang nabi yang bukan rosul, seperti Nabi Syîts
'Alayhis salâm hanya memiliki wahyu untuk dirinya sendiri.
Para
ulama berbeda pendapat menganai jumlah Rosul yang diutus oleh Alloh Subhânahu
wa ta'âlâ, ada yang menyebutkan 113, 114 dan 115. Demikian pula jumlah nabi,
ada yang mengatakan 124000, ada juga yang berpendapat 224000. Dalam hal ini,
lebih baik kita tidak mempertajam perbedaan pendapat tersebut, karena khawatir
ada nabi atau rosul yang tidak masuk ke dalam jumlah yang kita sebutkan, atau
ada yang bukan nabi dan rosul yang masuk ke dalam bilangan tersebut. Alloh
Subhânahu wa ta'âlâ berfirman:
مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ
وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ (غافر: 78)
di
antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula)
yang tidak Kami ceritakan kepadamu. (QS.
Ghôfir/al-Mu’min [40] : 78)
Definisi
Tauhid
Lafazh
"tauhid" merujuk kepada tiga makna yang berbeda, yaitu tauhid menurut
bahasa, istilah (ilmu tauhid), dan syara' (ketauhidan). Menurut bahasa, tauhid
adalah pengetahuan bahwa "sesuatu" itu adalah satu.
Definisi
tauhid menurut istilah adalah:
علم يقتدر به على إثبات
العقائد الدينية مكتسب من أدلتها اليقينة
Disiplin
ilmu yang memberi kemampuan untuk menetapkan 'aqîdah-'aqîdah agama yang diambil
dari dalil-dalil keyakinan.
Sedangkan
menurut syara', tauhid mengandung makna:
إفراد المعبود بالعبادة مع
اعتقاد وحدته والتصديق بها ذاتاً وصفاتٍ وأفعالا
Mengesakan
Alloh Ta'âlâ dengan cara beribadah kepada-Nya disertai keyakinan dan
membenarkan keesaannya dalam dzat, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya.
Dasar-dasar
Ilmu Tauhid
إن مبادي كل فن عشرة ...
الحد والموضوع ثم الثمرة
وفضله ونسبة والواضع ...
والاسم الاستمداد حكم الشارع
مسائل والبعض بالبعض اكتفى
... ومن درى الجميع حاز الشرفا
Sesungguhnya
dasar-dasar setiap disiplin ilmu itu ada sepuluh,
yaitu
(1) definisi, (2) objek, kemudian (3) manfaat.
(4)
Keutamaan, (5) nisbah, (6) peletak dasar (al-wâdhi'),
(7)
nama, (8) sumber pengambilan dan (9) hukum syara'.
(10)
Masalah-masalah, satu dengan yang lainnya saling mencukupi,
Barangsiapa
mengetahui keseluruhannya, maka ia telah memperoleh kesempurnaan.
1.
Definisi: sebagaimana di sebutkan di atas, tauhid adalah disiplin ilmu yang
memberi kemampuan untuk menetapkan 'aqîdah-'aqîdah agama yang diambil dari
dalil-dalil keyakinan.
2.
Objek: ilmu tauhid mengkaji dzat Alloh (sifat wajib, mustahil dan jâ`iz
bagi-Nya), rosul (sifat wajib, mustahil dan jâ`iz bagi para rosul) dan 'aqîdah
sam'iyyat, yaitu 'aqidah selain keyakinan tentang Alloh dan para rosul-Nya yang
diperoleh melalui dalil-dalil naqliy (al-Qur'an dan hadits).
3.
Manfaat: dengan mempelajari ilmu tauhid seorang Muslim akan mengenal (ma'rifah)
Alloh Subhânahu wa ta’âlâ dengan didasarkan pada dalil-dalil qoth'iy dan
memperoleh kebahagiaan yang kekal.
4.
Keutamaan: tauhid adalah ilmu yang paling mulia, karena kajiannya bekaitan
dengan Alloh Subhânahu wa ta’âlâ dan para Rosul-Nya.
5.
Nisbah (hubungan): tauhid adalah asal (pokok) dari seluruh ilmu agama, sehingga
disebut ushûl ad-dîn, sedangkan ilmu-ilmu yang lainnya adalah cabang (far')
dari ilmu tauhid.
6.
Peletak dasar (wâdhi'): peletak dasar ilmu tauhid adalah Abul Hasan al-Asy'âriy
dan Abû Manshûr al-Mâturîdiy beserta para pengikutnya Rohmatullôh ‘alayhim
ajma’în . Mereka adalah para ulama yang menulis berbagai kitab dalam bidang
tauhid dan menolak berbagai syubhat yang datang dari golongan mu'tazilah.
Sedangkan tauhid dalam pengertian keyakinan, telah ada sejak zaman Nabi Âdam 'Alayhis
salâm.
7.
Nama: ilmu ini dikenal dengan ilmu tauhid atau ilmu kalâm. Disebut ilmu tauhid,
karena pembahasan utamanya adalah tenang wahdaniyyah (mengesakan Alloh Subhânahu
wa ta’âlâ). Dinamakan ilmu kalâm, karena diantara kebiasaan ulama mutaqoddimîn,
selalu memulai sebuah pembahasan dengan kalimat al-kalâm fi kadza (pembicaraan
tentang "suatu masalah").
8.
Sumber pengambilan: ilmu tauhid bersumber dari dalil-dalil 'aqliy (akal) dan dalil-dali
naqliy (al-Qur'an, as-Sunnah, dan Ijma').
9.
Hukum: mempelajari ilmu tauhid hukumnya wajib 'ayniy bagi setiap muslim yang
mukallaf (berakal dan sudah baligh).
10.
Masalah-masalah: yang dibahas dalam ilmu tauhid adalah qodhiyyah-qodhiyyah
seputar wâjib, mustahîl dan jâ`iz.
Petunjuk
pada Agama yang Benar
Baginda
Muhammad Shollallôhu ‘alayhi wa sallam memberikan petunjuk kepada seganp
makhluk yang terkena taklîf, yaitu jin dan manusia, untuk mengikuti jalan agama
yang benar di sisi Alloh, yaitu agama Islam. Cara yang dilakukan oleh Nabi Shollallôhu
‘alayhi wa sallam adalah dengan memberikan al-hadyu (petunjuk) dan dengan
pedang (berjihad di jalan Alloh Subhânahu wa ta’âlâ) sesuai dengan
petunjuk-petunjuk-Nya Subhânahu wa ta’âlâ.
Agama,
secara bahasa (etimologi) memiliki beberapa makna, diantaranya ketaatan,
ibadah, balasan dan perhitungan. Sedangkan menurut istilah (terminologi), agama
dimaknai sebagai:
ما شرعه الله تعالى على
لسان نبيه من الأحكام
Hukum-hukum
yang disyari'atkan oleh Alloh Yang Maha Suci melalui lisan nabi-Nya.
Dalam
hal ini, yang dimaksud dengan agama adalah agama Islam, sebagai satu-satunya
agama yang benar dan diridhoi oleh Alloh Subhânahu wa ta’âlâ. Alloh Subhânahu
wa ta’âlâ berfirman:
}إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ
اللَّهِ الْإِسْلَامُ} [آل عمران: 19]
Sesungguhnya
agama (yang diridhai) disisi Alloh hanyalah Islam. (Âli 'Imrôn [3] : 19)
Imam
an-Nawawiy Rohimahullôh mengatakan, bahwa ciri eksistensi agama pada diri
seseorang ada empat, yaitu: benarnya tujuan (shidq al-qoshd), yaitu
melaksanakan ibadah dengan niat dan penuh keikhlasan; memenuhi janji (wafâ`
al-'ahd), yaitu melaksanakan perintah yang diwajibkan oleh Alloh Subhânahu wa
ta’âlâ; meninggalkan larangan (tark al-manhiy), yaitu menjauhi
perbuatan-perbuatan haram; dan sahnya keyakinan (shihhah al-'aqd), yaitu
mengikuti 'aqidah ahlussunnah wal jama'ah.
Wallôhu
a'lamu bish showâb
Referensi:
1.
Jawharoh at-Tawhîd
2.
Tuhfah al-Murîd
3.
Taqrîb al-Ba'îd